Hellow Man In Yellow (Part 3): Still recognized
"Udah siap Neng?"
Saya lalu menoleh kearahnya dan menggeleng.
Jari tanganku digenggamnya, untuk kemudian menyalurkan kekuatan
dan kehangatan, "dingin ih tangannya".
“Heem” jawabku sambil menunduk dan
memurojaah Surat ArRahman dalam hati.
Di kejauhan mulai banyak
orang-orang berdatangan.
Ada yang diantar orangtuanya, ada
yang datang bersama teman-temannya.
“Astaghfirulloh” ucapku semakin
tidak tenang, dan genggaman di tanganku semakin erat.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِۚ فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Dia
membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, di antara
keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS Ar Rahman 18-21.
Tak lama kemudian, terdengar suara melalui pengeras suara di area itu. “Bagi
seluruh peserta UMPTN diharap menyiapkan alat tulis yang diperlukan saja. Kartu
peserta harap diperlihatkan kepada pengawas saat memasuki ruangan. Tas dan
perlengkapan lainnya harap diletakkan di bagian depan ruangan. Pukul delapan
tepat, seluruh peserta baru akan dipersilahkan masuk. Terimakasih atas
perhatiannya”
“Dah tuh, insyaallah bisa. Senyum heula atuh biar semangat”
ujarnya sambil melepas genggaman tangannya.
“Makasih ya Teh, udah nganterin, mau nemenin, dibolehin nginep
juga semalem” ujarku sambil tersenyum.
“Ih siga ka saha.. dah sana baris. Teteh kedepan yaa…mau cari yang
cakep..eh yang anget” kata Teh Nita sambil tersenyum dan berlalu kearah
gerbang.
Saya berbaris sambil memperhatikan teh Nita yang sudah tak terlihat. Teh Nita adalah kakak sepupu kedua tertua, setelah Kak Barra. Ibunya adalah adik Papah, yang pangais bungsu. Sosoknya yang penyabar dan selalu menjadi penengah, ketika kami para sepupu berkumpul, persis seperti sifat ibunya. Ibunya adalah anak perempuan satu-satunya diantara empat bersaudara. Teh Nita memiliki adik yang terpaut jauh umurnya, sehingga sempat menganggapku adik perempuannya sebelum memiliki adik kandung sendiri.
Lamunanku kemudian teralihkan oleh panggilan
dari pengawas ruangan, yang meminta kami untuk masuk ke ruangan.
“Bismillah” bisikku pelan sambil melangkah maju.
****
“Jadi?”
Saya hanya tersenyum. Kepala rasanya masih berdenyut mengingat rangkaian
soal yang tadi dikerjakan. Tadi adalah hari kedua dari rangkaian UMPTN.
Selesai sudah pikirku.
“ Makan bakso aja yuk, biar hilang ngebulnya Teh” ajakku.
“Hayuklah” lalu teh Nita merangkulku ke arah parkiran motor.
“ Kak Barra tadi transfer buat kita jajan lho, makan bakso di Es Teller
77 di BIP yuk. Kalau masih ngebul kita nyebrang saja, trus liat-liat buku di
Gramedia”, ajak Teh Nita dengan riang.
“Ahahaha..siaap deh Bu Bos” jawabku sambil menaiki boncengan motornya.
Parkiran BIP tampak lengang, mungkin karena masih jam 12 dan ini bukan
akhir pekan.
Setiba di tempat makan, saya lebih banyak terdiam dan hanya
mendengarkan Teh Nita bercerita.
Bakso pedas yang saya makan sepertinya tidak bisa menghalau rasa
penat di kepala.
Teringat obrolan kami beberapa pekan lalu, setelah saya
mengumpulkan formulir UMPTN di GSG ITB.
“Jadi milih mana Neng?"
Saya masih terdiam mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan
ketiga yang diucapkan Teh Nita ketika berkunjung ke rumah.
Saya menarik nafas, lalu menjawab, “ Bismillah, pilihan pertama ITB
teh, yang kedua Unpad”
“yeaayyy” teriaknya sambil memelukku.
“ Gitu dong, ngapain jauh-jauh sampe ke Yogya. Kan jodohnya udah
nungguin di Bandung” ujarnya sambil tersenyum senang.
Walaupun sudah memiliki adik kandung sendiri, hubungannya denganku
tetaplah akrab. Kata Mamah, Teh Nita kerap menginap di rumah ketika saya baru lahir. Ketika saya sudah bisa jalan, teh Nita senang menggandeng-gandeng saya kemana-mana bila sedang ada pertemuan
keluarga. Saya yakin, kami akan sama-sama kehilangan bila berjauhan.
“Neng..neng.. ih ngelamun saja” suara teh Nita membuyarkan lamunanku.
“Lanjut yuk, ke Gramed aja deh. Udah bilang Mamah kan pulangnya
sorean? Atau mau nelpon dulu? Di belakang situ ada wartel tuh”.
“Engga usah teh, udah bilang sama mamah kok, kalau bakal pulang hari ini.
Minggatnya semalem saja” jawabku sambil tertawa. Sepulang tes UMPTN hari pertama kemarin, saya meminta izin untuk menginap di rumah teh Nita, meminta bantuannya untuk mereview beberapa materi IPA, yang diujikan dihari kedua.
“ Ya sudah, sholat dulu keatas yuk, baru ke seberang”.
***
“Pengumumannya kapan ya”, tanya Teh Nita ketika menemaniku menunggu
angkot di belakang Gramedia.
“Masih ngebahas UMPTN aja Teh” jawabku sambil tertawa, “ tanggal
30 Juli Teh. Masih lama”
“Nanti minta tolong Kak Barra mapay di Unpad habis subuh deh ya. Kayak
waktu Teteh nunggu hasil. Di depan kampus Dipatiukur dibagiin gratisnya kok lembaran kertas hasil pengumuman UMPTN. Nungguin
koran PR dianter mah lama kan, jam 7, itupun kalau mamangnya ga telat. Keburu penasaran”, ceritanya.
“Ngerepotin ih Teh, tenang aja, saya mah sabar menanti” jawabku.
“ Ahaha,kamu kayak tulisan yang ada belakang truk aja. Eh tuh
angkotnya lewat. Dah ah. Salam buat Mamah Papah ya. Insyaallah minggu depan kita
ketemu pas arisan di rumah Pakde ya”
“Iya Teh” jawabku sambil mengangkat tangannya untuk salim dan
kemudian naik kedalam angkot yang sedang berhenti.
Saya mengambil tempat duduk di paling belakang, posisi strategis untuk bisa melihat pemandangan dari bagian dalam angkot.
Saya melambaikan tangan ketika Teh Nita hendak berbalik badan.
Dan terkejut dengan sosok lelaki yang hampir ditabraknya.
Samar saya melihat Teh Nita meminta maaf sambil tersenyum pada
sosok itu lalu berlalu.
Sosok itu berkemeja flannel dan bercelana PDL, terlihat lebih
tampan. Berjalan beriringan dengan teman-temannya dan kemudian berhenti di
dekat angkotku mengetem.
Saya berusaha tidak melihat ke arahnya, tapi tetap curi-curi melirik ke
arahnya. Penasaran. Apakah akan menaiki angkot yang sama atau menunggu yang
lain.
Tiba-tiba saya mendengar kaca belakang di sampingku di ketuk. Lalu saya
melihat ke arahnya, dan samar terucap dari bibirnya, “Halo”.
Saya menarik nafas pendek seakan pasokan oksigen di sekitar habis, “Halo” jawabku pelan sambil mengayunkan tangan.
“Pulang? Sendiri?” tanyanya seperti mengeja, seakan khawatir saya
tidak bisa mengetahui yang ditanyakannya.
Saya mengangguk. Tak lama, saya mendengar kenek angkot yang saya
naiki meminta supir untuk berangkat, dan angkot pun perlahan bergerak.
Saya mengayunkan tangan lagi sambil tersenyum. Sosok itu, Mas
berjaket kuning, pun ikut mengangkat tangannya dan tersenyum.
Saya masih melihat ke arahnya ketika angkot menjauh, dan berpaling
ketika kenek meminta uang bayaran.
Jujur saya kaget, ternyata ia masih mengenali saya, padahal sudah
terpaut hampir satu tahun sejak pertama kali bertemu di pelataran perpus pusat
waktu itu.
Hmm Mas in yellow jacket... can we stop seeing like this. Just smiling and waving
hands and just saying hellow..
(Bagian ketiga dari empat)
----
Cerita beserta nama didalamnya adalah fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan kisah hanyalah kebetulan.
Comments
Post a Comment