NgeBolang di Alam Hijau

Bismillahirrahmanirrahim.
Menyusun kembali perjalanan travel yang pernah saya jalani, tak akan lebih dari satu halaman kertas folio, lho. 

Tulisan mengenai traveling ini pun saya buat karena Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog 'Pengalaman Travel Berkesan' yang detilnya bisa dilihat pada link berikut:  https://mamahgajahngeblog.com/tantangan-mgn-feb-2022-pengalaman-travel-berkesan/
Anyway, sebagian besar daerah tujuan travel yang pernah saya kunjungi, dilakukan setelah menikah.
Well, they are correct: Marriage is a journey.

Pernah Jadi 'Bolang'
Saya lahir di sebuah kota kecil bersisian dengan Bandung, dan besar di ujung dari Kota Bandung yang terbilang kampung. Semenjak kecil, saya senang bertualang. Membawa sepeda kecil dan berputar-putar disekitar perumahan: atau bahkan menyusuri hamparan sawah tepat di depan rumah. Yes, perumahan tempat saya tinggal menggunakan bekas lahan sawah, dan di area sisa yang belum terbangun masih berupa sawah. Masa kecil seperti ini membuat saya jadi bocah-tomboy-hitam-manis (Eh, kalau kata terakhir, saya menambahkan sendiri ya hehehe). 
Karena saya bisa menghabiskan sesorean nge-'bolang' dengan teman-teman di area sawah, atau bermain lumpur di sawah yang baru diairi, bahkan memainkan tali yang dipasang petani untuk mengusir burung. Those days were truly 'Bolang' days.

Suami, adalah anak seorang ASN. Lahir di salah satu kepulauan Timur Indonesia, yang saat ini sudah terlepas dari NKRI. Menelisik kondisi pulau tempat beliau lahir dan dibesarkan, tak ayal bertualang sudah mendarah daging. 
Berkisah tentang masa kecilnya, pulang sekolah langsung menaiki sepeda dan bermain ke pantai yang jaraknya sekitar 100m; menjelajah daerah sekitar rumah dinas yang jauh dari keramaian. Dan dengan kondisi geografis yang lebih banyak pepohonan, he was the real 'Bolang'.

Dibesarkan Di Ibukota
Lain halnya dengan jalanan beton yang anak-anak saya lalui setiap hari. Disinilah mereka meninggalkan jejak; terkurung dengan aktivitas yang hanya bisa dilakukan di sekitar rumah. 

Pohon dan sawah yang biasa saya nikmati sewaktu kecil, menjadi pemandangan yang jarang untuk anak-anak. 
Itu sebabnya, saya dan suami berusaha sebisa mungkin meng-agendakan traveling secara rutin.

Bila mereka tidak bisa menjadi 'bolang' di sekitar rumah, maka sebisa mungkin menghadirkan mereka di tempat mereka bisa bertualang.
Ah, bisa jadi itu sebabnya area terbuka hijau dan daerah Puncak dipadati kendaraan berplat B ketika weekend tiba.

Don't Be a Tourist Be a Traveler
Walopun hanya short-escape, tapi saya dan suami memastikan anak-anak menikmati setiap kebersamaan yang kami habiskan di ruang terbuka. 
Dalam setahun, kami meng-agendakan dua kali perjalanan, di pertengahan tahun dan akhir tahun.

Lalu, apa yang menjadikannya menarik?
Traveling yang kami lakukan menggunakan kendaraan pribadi; dan selalu mengajak serta salah satu dari orangtua, entah orangtua saya atau suami. 
Berawal dari hanya berlima, lalu berenam dan lately bertujuh.
Yang menyetir? tentunya suami. Yah itung-itung menjajal kemampuan macam supir antar kota antar provinsi 😅.
Berbekal quotes yang didengar dari salah satu tivi berbayar internasyenel agar "don't be a tourist, be a traveler"; maka saya dan suami memastikan bahwa perjalanan yang dilakukan "menyenangkan" dan tetap sesuai dengan rute yang sudah direncanakan.

Beberapa traveling pernah saya lakukan dalam keadaan hamil; pun riweuh dengan membawa bayi. Tapi alhamdulillah berhasil mengunjungi berbagai kota diantaranya Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Dieng, Purwokerto, Lampung dan lately Bali.

Semuanya seru dan memorable bagi saya, tapi ada satu perjalanan travel yang berkesan.
Ngebolang di Alam Hijau Ciwidey-Pangalengan
Ya, sejauh manapun kaki melangkah, ternyata daerah ini tetap menjadi tempat favorit bagi saya. Entahlah, karena saya lahir dan besar di daerah dingin; atau lekat dengan nuansa hijau di depan mata seperti sewaktu kecil; ataukah karena ingatan tentang pelantikan Ospek Himpunan di daerah ini.

Traveling ini menjadi berkesan, karena ini adalah traveling yang pertama-kalinya kami lakukan setelah terkurung dirumah selama beberapa bulan selama pandemi, yaitu di Desember 2020.


Alam terbuka seperti ini, membuat jiwa petualang anak-anak keluar. 
Berlarian diantara tanaman teh yang menjulang, memetik dan menyusuri kebun strawbery, berkeliling serta melihat aneka tumbuhan dan binatang yang hidup di sekitarnya.
Ada yang menggali tanah untuk mengubur benda-benda yang mereka temukan (katanya akan dibuka kembali beberapa tahun lagi bila berkunjung ke tempat ini 🤣); ada yang mengumpulkan ranting; dan ada yang berdiri terdiam mengamati pemandangan hijau sejauh mata memandang. 
Hehehe, kapan lagi menjadi 'bolang' seperti yang mereka lihat di tivi.
Saya pun mau tak mau hanya melihat mereka dari kejauhan, toh 'berani kotor itu baik' kan? 😉


Salah satu yang berkesan juga adalah merasakan semilir angin yang bertiup, kental dengan sejuknya hawa pegunungan. 
Seandainya udara sejuk ini bisa dibungkus dan dibawa pulang ke Jakarta.

Ya, ruang terbuka ini terlihat sangat sepi. Jalanan pun lengang. Mengingat kunjungan kami terakhir kalinya di masa sebelum pandemi, yang macet dan ramai dengan orang. 
Bahkan pada saat ini, menyusuri Situ Patengang yang berkabut, hanya tampak satu-dua perahu saja yang bekerja.

Meninggalkan Untuk Kembali
Bandung sewaktu saya kecil, masih akan berkabut ketika membuka jendela di pagi hari selama musim hujan. Dan disini, tak perlu menunggu keesokan paginya. 


Jelang siang, matahari bersembunyi di balik awan, dan tak lama kabut turun menyelimuti area tempat kami bercengkerama. 

Well, sepertinya sudah waktunya untuk beranjak.
Melihat kembali pemandangan indah ini, dan menyimpannya dalam memori. Diikuti teriakan protes dari anak-anak yang merasa belum puas menjadi bocah petualang. 

See you on another adventure dear Ciwidey-Pangalengan.. saya akan datang lagi nge'Bolang' bersama anak-anak, dan kembali menikmati alam hijaumu.


"The greatest legacy we can leave to our children are happy memories".

Jakarta, 5 Feb 2022



Comments

  1. Halo Teh, saya juga suka Ciwidey sama Pangalengan, enakeun yah, dingin-dingin sejuk, cuman ga kuat macetnya aja. Kalau mau santai memang ga boleh pas musim liburan kesananya.

    ReplyDelete
  2. Aaaaa Teh Lia, baca tulisan Teh Lia, jadi kangen Bandung lhooo ehehe. Setiap ke Bandung, Ciwidey dan Pengalengan sering jadi destinasi kami sekeluarga. Meskipun 2 jam-an ditempuh dari Bandung, tapi worth-it, udaranya sejuuuk dan sejauh mata memandang, ijo ijo banyak perkebunan teh.

    Tujuan utama lainnya adalah 'rumah Ibu' wkwkwkwk, Pak Suami demen banget ke Rumah Pengabdi Setan ehehehe.

    Jaman sekarang, tinggal di tempat yang luas, serene, dan banyak pemandangan sawah, itu privilege ya Teh. Indah banget memang era masa kecil kita :)

    ReplyDelete
  3. Daerah Ciwidey Pangalengan emang enakeun banget ya. Beneran jadi pengen jalan-jalan ke sana lagi.

    ReplyDelete
  4. Ih sama bgt teh, "jalan-jalan" pertama kami di masa pandemi ketika sudah mulai sangat jenuh adalah ke ciwidey. Padahal hanya mapay kebun teh, tapi anak-anak (dan ortunya) hepi banget bisa lihat yang ijo ijo setelah sekian lama

    ReplyDelete
  5. Aku malah ingat tempat ini kayaknya tempat ospek bukan sih? Masih ingat sih banyak alam hijaunya dan udara dinginnya. Pastilah anak-anak senang bisa berlarian di alam terbuka, apalagi selama pandemi pastinya jarang dapat kesempatan jalan-jalan begini kan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Masuk Dapur

Mentari

Dear My Sunshine